Gara-Gara Negara, Saya Jadi Berat Jodoh

Pertama kali gue menyadari bahwa gue Cina dengan segala konsekuensinya adalah pada masa kerusuhan 1998. Papih dan Mamih sudah tidak paham Bahasa Mandarin sampai yes dan no-nya. Memeluk agama Katolik, keluarga kami juga sudah tidak khatam segala budaya Konghucu.

Pernah satu kali saat Imlek yang belum libur nasional, gue dipulangkan dari sekolah yang muridnya mayoritas keturunan Cina. Ketika ditanya kenapa, gue menjawab enteng, “biasa Mih, itu cina-cina pada bolos kalau Imlek, sekolah jadi sepi!” Mamih cuma tertawa terkekeh tapi tidak mengoreksi.

Tak heran ketika kerusuhan 98 pecah, gue chill aja, di saat Mamih dan Papih menjadi panik, sibuk mengasah samurai pajangan di ruang tamu. “Mih, kenapa musti panik? Itu yang diperkosain sama dirampokin cuma orang Cina,” gue berkomentar. Mamih menatap gue lurus dan keluarlah kenyataan itu, “kita Cina, tau!”

Dan dengan demikian dalam satu hari, cara positif gue memandang diri dan lingkungan terjun drastis. Indonesia yang jadi rumah aman tempat gue tumbuh dan berkembang, ternyata menolak gue, semata, karena siapa gue dan di keluarga mana gue dilahirkan.

Kala itu, gue sudah memasuki masa puber. Tubuh gue sudah tidak lagi seperti anak SD pada umumnya. Gue memiliki kulit kuning langsat, kulit cokin kalau kata orang, yang sangat gue banggakan. Kalau gue dibawa berbelanja, gue selalu kembali dengan hadiah-hadiah dari pemilik toko, sekadar karena mereka menyenangi rupa gue.

Namun hari itu, Mamih dan Papih menatap sosok gue dengan wajah khawatir. Dengan kulit dan fitur seperti itu, gue menjadi yang paling terlihat Cina di antara keluarga, dan berarti, gue yang akan menjadi target sasaran utama, jika massa yang merangsek di depan gerbang kompleks itu berhasil menerobos.

“Gimana ya si Dede, pasti duluan kena,” gue mencuri dengar percakapan lirih orang tua gue. Dan gue tahu benar maksudnya. Gue, akan menjadi sasaran empuk mereka, jika terjadi perkosaan seperti di titik-titik lokasi lain. Mamih mencoba menyembunyikan gue di bawah ranjang, memasukkan gue ke gentong besar, dan berbagai cara lain untuk melindungi gue.

Di usia 12 tahun, gue mengenal rasanya takut diperkosa.

Lantas, apa kaitannya dengan nasib berat jodoh yang menimpa gue?

Yang Nggak Ada di Karibia (Yang Ada di Indonesia)

Apa sih yang dicari sampai harus jauh-jauh ke Karibia? Emang nggak ada apa itu di Indonesia? 

Sebagai seorang warga negara bucin patetik pada republik ini, gue tentunya ingin menjawab dengan berapi-api bahwa perjalanan gue menyambangi Bermuda dan Turks & Caicos itu sia-sia. 

Bahwa gue tidak menemukan hal unik, istimewa, yang lebih cantik, lebih utama, maupun pembelajaran apapun di seberang lautan. Namun sayangnya, muncullah tulisan ini, yang menyakitkan hatiku sebanyak hatimu.. bahwa masih ada yang kureng dari negara yang cantik apa adanya ini.

In My Memory: Berdoa tanpa Tapi

“Kamu pilih mana? Kuasa langit, yang bisa memberikan kamu apapun yang kamu mau, persis-persisan seperti yang kamu minta, dalam waktu yang instan? Atau kuasa Tuhan, yang kadang kamu malah dikasih hal-hal yang berlawanan dengan yang kamu bayangkan, waktunya sesuai waktu Tuhan, bahkan kadang tidak diberi? Tapi Tuhan tidak pernah kalah,” demikian Bruder menghardik, di pertemuan pertama kami.

Dikira Enjel Ternyata Pindjoel: Mencari Malaikat dalam Bisnis

“Gy, is he the impact investor we’ve been looking for?” Rekan bisnis bertanya dalam sebuah pitching.

“Inget kata Tante D, malaikat itu nggak ada,” gue merespon pendek.

“Yaa.. kalau angel investor nggak ada, impact investor ada kali, Tan…”

Gue menahan kikik tawa sambil tetap pura-pura serius, kala pitching pagi itu mengirim gue 22 tahun silam,  pada seorang perempuan yang kami kodein Tante D, mentor bisnis pertama gue, meski dengan cara yang paling tak biasa.

“Rule number one: There’s no angel in this world, darling,”  Tante D itu memaparkan sambil terkekeh kecil dengan mata yang tak tersenyum pada khalayaknya, perempuan-perempuan berusia belasan tahun yang belum genap menyelesaikan pendidikan sekunder mereka

Terima Jasa Revisi Doa

Seorang teman pernah punya doa sederhana. Ia minta jodoh, cantiknya terserah Tuhan, pintarnya terserah Tuhan, yang penting: rumah sang jodoh berjarak tidak lebih dari tiga lampu merah dari rumahnya.

Sungguh Tuhan Maha Pengasih, diberilah ia jodoh yang sedemikian. Rumah sang gadis pujaan bisa disambangi setelah melewati tidak lebih dari tiga lampu merah dari rumahnya.

Tapi harus lewat tol.

Mempertanyakan Kecinaan

“Ci, Cici Chinese ya?” tanya dua pemuda tanggung rambut belah tengah dengan kaos hitam bergambar band lokal yang tak sempat gue lihat namanya.

Seperti kebanyakan masyarakat Tionghoa Jakarta pada umumnya, gue sedang merayakan siang Imlek kami dengan tradisi yang khas: ngemall, saat pertanyaan diluncurkan. Ponakan-ponakan sudah rapi jali berkostum Cheongsam mau membelanjakan angpao pertama mereka dengan lego dan tiruannya. Namanya juga turunan Cina.

Mendengar pertanyaan itu wajah gue langsung menegang. Mata yang nggak seberapa besar dipicing-picingkan. Kuda-kuda dipasang. “Iya,” gue menjawab dengan nada tinggi di depan. Defensif. Siap diikuti dengan, emang kenapa?

The Science of Being Enough

“Jika diberikan mesin waktu untuk merevisi hidup, apa hal yang disesali yang mau diubah?”

“Apa yah? Kayaknya nggak ada deh,” jawab gue setelah memicing-micing seperti sedang berpikir.

“Hah, nggak ada sama sekali? Nggak ada yang disesali?”

“Hmm… nggak sih,” gue menjawab enteng. Meninggalkan lawan bicara menatap remeh pada gue yang terlihat kurang punya ambisi lagi cepat puas terhadap hidup yang biasa-biasa aja ini.

Tentu saja gue banyak penyesalan. Pandang saja deretan lelaki kardus yang judulnya REGRET semua itu. Namanya juga anak muda. Banyak hal yang gue lakukan tanpa pertimbangan yang berbuntut kesia-siaan waktu. But one thing leads to another. Dan bahwa tanpa sederet sebab akibat yang naas itu, tidak ada gue yang sekarang, dengan segala kekurangannya.

Menggugat Prince Charming

Salah satu pertanyaan yang paling sering muncul ketika membahas buku terakhir rilis gue, The Overqualified Leftover Club adalah: kok cowok-cowok di buku ini nggak ada yang OK sih? Yang ganteng-tinggi-putih-tajirmelintirkeplintirplintir-perhatian-jujur-setia.

Jawaban standar lucu-lucuan gue dan Nay Wahid adalah: Mungkin karena sampai buku tersebut ditulis, kami belum berjodoh ketemu sama lelaki sedemikian. Buku ini dibuat berdasarkan kisah-kisah nyata di sekitar kami dan oleh karenanya, karena nggak ada perempuan yang menuturkan punya kekasih semacam ituh, maka tak kutulis.

Tapi jawaban yang lebih serius adalah… bahwa mungkin memang tidak ada lelaki sesempurna itu, tetapi media kebanyakan begitu mudah memaafkan ‘ketidaksempurnaan’ laki-laki, bahkan mengagung-agungkannya.

Blame fairy tales.

Di Belakang Toa Kita Semua Sama

Ini akan jadi pagi yang tenang, gue membatin. Gue tengah berada di sebuah kota kecil di Sulawesi Utara. Memang sih, penginapan gue berdampingan dengan pasar. Tapi pasar ekstrim harusnya belum buka pagi-pagi. Paling banter kokok ayam jago kepagian, ditipu Roro Jonggrang, jika memang ada legenda sejenis di pulau ini. Tapi ah, jika pagelaran gaib semalam suntuk tidak membangunkan gue, apalagi bunyi-bunyi natural semacam itu.

Pukul 5 pagi.

“Pooji Soookoooorrr Kita Ucapkan atas Pageeee yang ceerah… Mari sooodaraa kita samboot dengan madah poojiaaann..” Diiringi kidung-kidung madah pujian yang disiarkan lewat toa di atas menara di tengah pasar itu.

Gue terbangun dari tidur yang baru gue awali dua jam sebelumnya. Tertawa tertahan, setengah geli, setengah kesal, menyadari ternyata, di belakang toa, kita semua sama…

Resep Kurus

“Gy kok loe bisa kurusan sih?”

“Gampang, gue makan ati.”

“Ah, gue juga makan ati, tapi malah jadi gendut!”

“Lah loe salah! Makan atinya pake nasi!”

Salah satu pertanyaan paling sering kuterima dari handai taulan media sosial adalah bagaimana gue bisa menyisihkan 15 kilo berat badan gue dari masa pandemi dalam kurun waktu kurang dari setahun.

Gue berupaya memberi tips yang sungguh-sungguh gue lakukan tapi memang tidak pernah punya dampak berarti pada kegembilan, seperti berenang setiap hari (suer beneran, tapi gue juga makan nasi goreng sepiring munjung tiap hari habis berenang), intermittent fasting (dari jam 10 pagi hingga jam 2 siang), maupun menjadi mangistarian (ini tentunya supaya dagangan gue tambah laku).

Setiap saran itu disambut tatapan skeptis penuh curiga seolah gue telah menyembunyikan rahasia pamungkas turun temurun dari selir tersayang Kaisar Dinasti Tang. Maka, hari ini, gue akan mencetuskan istilah diet gue yang sejati. Bersiap meniru dan dapatkan tubuh impian Anda! It’s calorie deficit diet.